Oleh: Arif Jamali Muis*
Disaat Presiden RI Ir Joko Widodo menyatakan dan mengajak masyarakat untuk berdamai dengan Covid-19, pada saat yang sama grafik kasus penyebaran wabah virus masih tinggi. Bagi saya, ajakan presiden untuk berdamai sungguh sulit untuk diterima. Alasan berdamai dengan Covid-19 menurut bapak presiden, karena virus ini tidak akan pernah hilang seratus persen dari bumi Indonesia dan giat ekonomi harus berjalan agar masyarakat bisa mendapatkan penghasilan.
Ide berdamai dengan Covid-19 ini direspon cepat oleh para pembantu presiden salah satunya Mnteri Perhubungan dengan memperlonggar moda transportasi. Mulai dibukalah penerbangan yang pada akhirnya masyarakat melihat drama penumpukan penumpang di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.
Tidak berhenti disitu, langkah menuju perdamaian dengan Covid-19 juga dilakukan oleh Menko Perekonomian dengan membuat timeline pembukaan beberapa kegiatan ekonomi yang kemudian kita kenal dengan new normal. Kementerian Pendidikan pun tidak mau ketinggalan merencanakan memulai membuka sekolah pertengahan Juli nanti. Bahkan, kata presiden, akhir Mei bagaimanapun caranya grafik penyebaran Covid-19 harus turun.
Bagi pendukung ide berdamai dengan Covid-19, ide presiden realistis karena rakyat butuh makan dan juga PSBB ternyata tidak efektif karena banyak rakyat yang tidak patuh. Lalu bagaimana dengan ancaman Covid-19 yang bisa membahayakan kesehatan bahkan nyawa masyarakat? Jawabannya adalah penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dengan ketat, jika ada yang tertular bisa dipastikan mereka tidak menerapkan protokol kesehatan. Masyarakatlah yang salah.
Bagi sebagaian masyarakat ajakan ini direspon dengan tanggar Indonesia terserah, bahkan menjadi trending topic di media sosial. Bagi saya, respon masyarakat ini perlu pencermatan yang matang dari pemerintah, karena jika tidak, bangsa kita akan berkepanjangan menghadapi wabah ini dan masalahnya akan bertambah berat di segala lini kehidupan.
Kesalahan Asumsi
Ide presiden tentang berdamai dengan Covid-19 sesungguhnya bisa diterima dalam konteks melanjutkan kehidupan saat pandemi ini sedang menurun, tidak sekarang. Karena jika sekarang sangat berbahaya di saat pandemi sedang tinggi. Ide tersebut berangkat dari asumsi yang salah, yaitu fokus pada ekonomi. Seharusnya pemerintah fokus pada mengendalikan Covid-19 agar penyebarannya tidak tinggi. Atau dalam bahasa lain: kurva kasus melandai.
Kita sadar bahwa mungkin Covid-19 ini tidak akan hilang, akan tetapi kita wajib mengendalikannya. Dalam kondisi virus telah melandai baru kita berdiskusi tentang “perdamaian” dengan Covid-19 bahkan sudah merancang kehidupan baru (new normal). Kalau sekarang kita sudah berdamai, di saat penyebaran Covid-19 sedang tinggi, yakinlah akan banyak korban masyarakat, saya membayangkan PSBB yang ditetapkan pemerintah dilaksanakan secara serius, ketat, dan tegas. Wacana para pejabat pemerintah semua mengarah kesana, tidak ada yang bicara tentang damai, new normal, relaksasi moda transportasi atau yang barusan muncul yang dilarang mudik tapi transportasi tetap bisa jalan. Fokus pada kesehatan masyarakat, dengan begitu sebagian masyarakat yakin bahwa Covid-19 ini bisa dikendalikan pemerintah dan setelah itu baru membicarakan dan merencanangkan new normal.
Tetap Berjuang
Belum ada data yang menunjukkan bahwa kurva kasus terpapar Covid-19 ini melandai, itu artinya virus ini tidak mau diajak berdamai. Jika bapak presiden ingin tetap berdamai saat ini, maka ijinkanlah kami relawan kemanusiaan keluar barisan dan tetap berjuang melawan Covid-19 dengan cara mengedukasi masyarakat untuk tidak keluar rumah, selalu memakai masker, hidup bersih, dan kami tetap menyediakan ketahanan pangan semampu yang kami bisa agar masyarakat tetap bertahan di rumah. Pada saatnya kalau memang Covid-19 ini sudah terkendali barulah kami akan berdamai dan memulai dengan new normal. Pak presiden tetap semangat, karena perang belum selesai dan belum terlihat tepian akhir perjuangan ini.
Salam.
*Wakil Ketua PWM DIY & Relawan Muhammadiyah Covid-19 Command Center
————————————————————
Tulisan ini sudah ditulis di FB Arif Jamali Muis