>
Pacitansatu.com--Diawal meningkatnya pandemi Covid-19 Pemerintah sudah menghibau agar masyarakat tidak menciptakan stigmatisasi terkait virus ini.
Masyarakat harus tetap tenang dan waspada, agar tidak menimbulkan sifat diskriminasi dan stereotip.
Tapi sepertinya himbauan tersebut masih belum sampai ke telinga mereka, buktinya masih banyak rumor yang beredar seperti masyarakat yang bersifat mengucilkan bahkan berujung pada pengusiran.
Dikota Pacitan sendiri pernah terjadi penolakan yang dilakukan masyarakat kepada kedua petugas medis yang hendak pulang. Masyarakat khawatir akan tertular, padahal keduanya belum menjalani repid test.
Masyarakat beranggapan bahwa tenaga medis adalah orang yang berinteraksi merawat pasien yang ODP, PDP, bahkan yang positif Covid-19 secara langsung sehingga khawatir menularkan kepada mereka. Padahal masyarakat masih belum mempunyai bukti jika para tenaga medis terindikasi terinfeksi virus Covid-19.
Ada hal yang perlu diketahui, seorang petugas medis dalam menjalankan tugas mereka sudah dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) serta wajib menjalankan protokol-protokol sesuai penanganan Covid-19.
Padahal semua tenaga medis bergerak atas nama kemanusiaan, tapi kenapa diperlakukan dengan tidak baik. Tenaga medis berjibaku bertaruh nyawa secara langsung menangani pasien, mereka rentan tertular Covid-19 ataupun merasa kelelahan dan gerah karna pakain yang mereka kenakan berlapis-lapis untuk antisipasi serta melindungi tubuh mereka dari menularnya virus.
Sungguh sangat miris jika kita melakukan tindakan yang kurang baik kepada mereka sebagai balasan atas segala jasa yang telah dilakukannya. Bahkan, tenaga medis akhirnya rela menginap di rumah sakit lantaran tidak diterima di lingkungannya saat pulang.
Hal yang sama terjadi di Desa Bomo, Kecamatan Punung seorang laki-laki harus menerima tindakan yang kurang baik dari tetangganya hanya lantaran dia baru pulang dari perantauan, padahal orang tersebut sudah menjalani isolasi mandiri dirumahnya.
Cemoohan, hinaan bahkan perlakuan yang kurang baik sering diterima oleh orang yang dianggap membawa virus, hanya anggapan saja tanpa ada bukti, karna ketika dimintai bukti, mereka hanya menjawab dia dari perantauan, pasti pulangnya membawa virus.
Tanpa ada bukti yang jelas hanya justifikasi belaka sebagai penguat dari anggapannya.
Mungkin hal ini juga disebabkan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana menyikapi pandemi ini, seakan virus ini tidak hanya menyerang imun saja melainkan juga menyerang tatanan sosial, buktinya masih banyak masyarat yang bertindak merugikan masyarakat yang lainnya.
Tidak menutup kemungkin jika hal ini juga akan terjadi di tempat-tampat yang lain.
Seakan keresahan masyarakat terhadap wabah corona virus disease 2019 (COVID-19) kian menjadi. Banyak dari mereka yang akhirnya antipati terhadap rekan atau bahkan keluarganya sendiri yang terindikasi terinfeksi COVID-19.
Klaim ataupun stigmatisasi terhadap seseorang yang diduga terpapar Covid-19 , melebihi seorang teroris. Banyak sekali diantara mereka yang dikucilkan. Bahkan tak sedikit masyarakat di daerah lain yang enggan dan menolak kepulangan warganya..
Seakan jargon lama yang menyebutkan "jauhi penyakitnya, bukan orangnya" sudah tidak berlaku lagi, mereka hanya mementingkan kepentingan sendiri tanpa melihat keadaan yang lain.
Bagaimana kalau nantinya ada orang yang belum pasti terkena virus, tapi karna menerima perlakuan yang kurang baik dari masyarakat membuat dia jatuh stres dan akhir gila atau bahkan membakar diri karna keseringan dikucilkan.
Memang ada baiknya untuk antisiapasi, tapi dirasa terlalu berlebihan jika sampai mengusir bahkan dipojokkan.
Jarak fisik memang harus direnggangkan untuk mengantisipasi penularan tapi ikatan sosial harus tetap dirapatkan.
Bukankah mereka juga korban, kenapa tidak ada inisiatif untuk membantu mengisolasi atau mensuport pangan agar mereka tidak terpaksa keluar rumah.
Jika tindakan kurang baik selalu disuguhkan kepada mereka yang terindikasi terinfeksi Covid-19, bukankah hal ini nantinya akan membahayakan kita semua, karna masyarakat yang mengalami gejalanya enggan untuk melapor dan memeriksakan diri, jika hal tersebut terjadi yang ada malah akan menimbulkan kerugian yang besar, virus jadi tidak terdeteksi sehingga menyulitkan memutus rantai penyebaran.
Karna rasa ketakutan yang berlebih tidak sedikit diantara masyarakat menyangkut pautkan antara perilaku negatif dengan Covid-19, mereka beranganggapan bahwa COVID-19 terjadi karena perilaku negatif dari seseorang, rumor yang sedikit tabu di mata medis.
Karna menurut Prof Wiku Adisasmito, seorang tim pakar gugus tugas penanganan COVID-19, menyampaikan bahwa penyakit ini disebabkan karena virus. Tidak ada hubungannya dengan perilaku negatif dari seseorang.
Pastinya hal ini harus menjadi perhatian kita semua khususnya Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 atau lembaga-lembaga penanganan lainnya, bukan hanya mengsosialisasikan lumbung pangan saja, melainnya juga mengedukasi masyarakat dalam menyikapi pandemi ini.
Karna dengan adanya pandemi ini masyarakat tidak hanya krisis akan ekonomi melainkan juga krisis akan sosial.
Sebuah hubungan sosial yang mereka jalin bertahun-tahun lamanya bisa lenyap hanya dalam hitungan hari, disebabkan kurang pemahamnya masyarakat dalam mengahadapi pandemi Covid-19 ini.
Menurut prediksi wabah ini akan berlangsung lama, seyogyanyalah kita memperbaiki tatanan sosial dengan memperkuat solidaritas, bersifat mengasihi bukan mencaci.(Gemma)