>
Yogyakarta, (03/05) Pacitansatu. Com —Jumlah penyebaran infeksi Covid-19 di Indonesia semakin hari semakin naik dan belum ada tanda – tanda menurun secara signifikan. Kini negara sedang menanggung kebingungan yang tidak berkesudahan. Wacana new normal yang tidak benar – benar dipahami oleh masyarakat, protokol yang tidak begitu jelas hingga pemerintah yang lebih mengindahkan pertahanan ekonomi negara dibandingkan dengan keselamatan rakyatnya. Informasi yang bertebaran menyuguhkan ketidakpastian bagi pembacanya. Maka dalam hal ini, jurnalisme data atau science layak disuguhkan kepada masyarakat untuk mengisi ketimpangan informasi yang tengah berada di Indonesia terkait Covid-19.
Tim Kesehatan Masyarakat Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) mengkonfirmasikan bahwa DKI Jakarta masih menjadi wilayah tertinggi pasien positif Covid-19 dan Aceh menjadi wilayah terendah pasien positif Covid-19. Beberapa kajian dilakukan untuk memahami penyebaran wabah Covid-19 yang terus naik dan mengukur apakah negara sudah layak menerapkan new normal atau belum. Dr. dr. Titi seorang Ahli Epidomologi jelaskan bahwa upaya polymeras chain reaction (PCR) yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat menutupi kasus yang ada di Indonesia. Ketimpangan antara jumlah PCR dengan jumlah penduduk Indonesia sangat jauh berbeda. Sehingga upaya untuk melihat kondisi sebenarnya dari pasien terduga positif di Indonesia ini masih sangat sulit.
Pemerintah kini pun mengutamakan kondisi ekonomi negara, dimana ekonomi juga masih menjadi persoalan yang genting. Jika ekonomi negara menurun maka upaya penyelamatan rakyatnya untuk hadapi pandemi ini juga akan berpengaruh. Alangkah baik jika masyarakat benar – benar memahami situasi yang seperti ini agar tidak terjadi sikap berlebihan dalam kebijakan pelonggaran PSBB. Maka ini adalah sebuah tugas penting bagi media untuk mengatasi persoalan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Dr. Fajar Junaedi, S.Sos, M.Si. seorang Pengamat Media menyampaikan bahwa persoalan Indonesia berkutat pada komunikasi “bagaimana kita mengkomunikasikan ini kepada masyarakat. Persoalan kita sejak awal adalah tata kelola komunikasi kepada masyarakat” ungkapnya. Dr. Fajar Junaedi yang kerap dipanggil Mas Jun ini berpendapat jika penyebaran informasi PSBB di sosial media melalui buzzer maka informasi yang diterima bukan lagi pembatasan sosial berskala besar tetapi pelonggaran sosial berskala besar, informasi tersebut menjadi bias “Ketika wacana ini didengungkan maka menimbulkan ketidakpastian terhadap masyarakat” tandasnya menanggapi itu.
Lebih lanjut, Mas Jun sampaikan bahwa menjadi tugas penting bagi media untuk mengurangi ketidakpastian informasi yang ada di masyarakat. Informasi yang bukan lagi menguras mata namun lebih mengarah kepada informasi positif. Letak ketimpangan informasi di masyarakat ini dapat diatasi dengan menyajikan data yang dibahasakan secara sederhana oleh media. Mengembangkan jurnalisme data atau science dengan membahasakan ke dalam bahasa yang pupoler dan mudah dipahami oleh masyarakat dari berbagai kalangan umum.
“Tantangannya ke depan pers di Indonesia harus mulai berkembang tidak hanya menyampaikan berita hard news tp menyampaikan berita dalam konteks feature yang berita - berita itu mengandung science yang dapat dipahami masyarakat. Sehingga lubang yang terjadi pada masyarakat bisa teratasi melalui jurnalisme science” tuturnya.(*)
Budi Santoso, S.Psi.
Tim Media MCCC PP Muhammadiyah