>
Catatan Perjalanan Menuju Pemimpin Pembelajaran
oleh Bambang Setyo Utomo, S.Pd.
1. Ki Hajar Dewantara dalam filosofi pemikirannya telah mengajarkan bagaimana seharusnya pendidikan dan bagaimana seharusnya seorang pendidik. Pendidikan itu menuntun, bukan menuntut, karena setiap anak telah memiliki garis kodratnya meski samar-samar dan tugas pendidik untuk menebalkan garis kodrat itu, secara seimbang antara cipta, karsa dan karyanya agar tumbuh perpaduan tiga unsur tersebut, yaitu budi pekerti. Pendidikan seharusnynya menghamba pada siswa, artinya pembelajaran harus berpihak pada siswa, siswa itu subyek bukan obyek, pendidik hanyalah fasilitator (bukan instruktur), yang mampu mengasuh dan mengasah anak didiknya dengan asih. Pendidik/guru adalah pamong bagi murid-muridnya dengan berpegang pada trilogi “Ing Ngarsa Sung Tuladha Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.Bahwa di depan pendidik haruslah dapat menjadi contoh bagi murid-muridnya, di antara murid-muridnya harus dapat menumbuhkan semangat, dan memberi dorongan dari belakang untuk murid-muridnya. Di antara berbagai peran guru, salah satunya adalah guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Sebagai seorang pemimpin, seringkali guru dihadapkan pada permasalahan-permasalahan rumit yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat dan efektif. Berkaitan dengan pengambilan keputusan ini pun, guru harus dapat mengambil keputusan efektif dengan tetap mengedankan prinsip bahwa setiap anak adalah unik, mereka adalah anak-anak yang harus diperlakukan dengan cinta kasih sehingga keputusan yang diambil tetap berpihak pada murid
2. Di dalam diri setiap manusia pasti telah tertanam nilai-nilai yang ia yakini. Demikian pula dalam diri seorang guru, pasti telah memiliki khasanah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Namun dalam perjalanan menjalankan tugasnya, seorang guru juga dihadapkan pada pertentangan ninai benar lawan salah atau bujukan moral dan pertentangan nilai-nilai yang sama-sama mengandung kebenaran atau dilema etika. Dalam kasus seperti ini, nilai-nilai yang telah tertanam itu pasti akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang diambil, sehingga mungkin saja keputusan yang diambil akan bersifat subyektif. Oleh karena itulah, seorang guru harus mampu menyelaraskan nilai-nilai yang ia yakini dengan nilai nilai kebajikan yang universal. Dengan demikian pengambilan keputusannya tetap berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan universal, bukan hanya pada nilai-nilai yang ia yakini saja.
3. Proses pengambilan keputusan berkaitan juga dengan coaching. Di dalam coaching, coach menuntun coachee untuk dapat menemukan jalan keluar dari permasalahannya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan efektif yang menggali potensi atau kekuatan coachee, sehingga pada akhirnya coachee dapat mengambil keputusan sendiri terkait apa yang akan ia lakukan untuk mengatasi permasalahannya. Prinsip-prinsip pengambilan keputusan, terutama 9 langkah pengambilan keputusan dapat diterapkan dalam coaching, karena di dalam 9 langkah pemgambilan keputusan antara lain terdapat langkah dimana kita harus engenali nilai-nilai yang bertentangan, menganalisis pihak-pihak yang terlibat, fakta-fakta yang relevan, dan opsi-opsi yang dapat diambil sebagai keputusan. Hal ini sejalan dengan Teknik TIRTA di dalam coaching, yaitu menentukan Tujuan, Identifikasi masalah, Rencana aksi dan Tanggung jawab.
4. Di dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, kompetensi sosial dan emosional guru juga sangat dibutuhkan. Di antara kompetensi sosial emosional adalah kesadaran diri, pengelolaan diri_ mengelola emosi dan fokus pada tujuan, kesadaran sosial_empati, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Jika dalam pengambilan keputusan, guru menerapkan kompetensi sosial emosionalnya, maka niscaya keputusan yang ia ambil akan merupakan keputusan yang tepat.
5. Untuk permasalahan atau kasus yang menyangkut masalah moral atau etika, pengambilan keputusan haruslah tetap mempertimbangkan nilai-nilai kebajikan universal, terutama dalam langkah penentuan nilai benar atau salah. Sekali lagi, apabila dalam langkah ini hanya mempertimbangkan nilai yang diyakini secara pribadi maka mungkin saja keputusan yang diambil menjadi bersifat subyektif, sehingga tidak efektif. Dalam hal ini, guru dapat menerapkan nilai-nilai kolaboratif dan reflektif, yaitu meminta masukan atau saran dari orang lain tentang keputusan yang akan diambil dan merefleksikan kembali keputusan yang telah diambil.
6. Pengambilan keputusan yang tepat tekait kasus dilema etika yang telah dilakukan melalui 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan seharusnya akan menghasilkan keputusan yang efektif, karena telah melalui proses yang runtut dan terarah dalam mengambil dan menguji keputusan. Dengan demikian keputusan yang diambil akan mampu mengakomodasi atau memuaskan sebagian besar pihak-pihak yang terlibat. Hal inii tentu saja akan berdampak positif pada semua pihak dan mendukung terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman
7. Secara pribadi, kesulitan yang saya hadapi dalam menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika yang berkaitan dengan murid adalah masih kurangnya pemahaman tentang perubahan paradigma di dalam pendidikan, terutama berkaitan dengan penegakan disiplin atau penerapan budaya positif di sekolah. Di antara rekan-rekan sejawat masih terdapat perbedaan sudut pandang tentang cara penegakan disiplin di sekolah, karena sudah merupakan budaya yang sudah diterapkan sejak lama. Di samping juga masih ada kekhawatiran dalam diri saya mengenai keputusan yang saya ambil, apakah sudah benar-benar keputusan yang tepat, yang tidak “melukai” pihak lain dan bermanfaat bagi orang banyak.
8. Pengambilan keputusan yang diambil ini akan mempengaruhi pengajaran yang dilakukan sehingga akan memerdekakan murid, karena keputusan yang diambil merupakan keputusan yang berpihak pada murid. Misalnya pengambilan keputusan guru untuk melakukan proses pembelajaran yang menuntun bukan menuntut, dan memberikan kesempatan bagi murid untuk dapat mengekspresikan pemahamannya dengan berbagai cara sesuai dengan minat murid. Dengan menerapkan hal ini berarti guru telah memberikan kemerdekaan belajar bagi murid dan kemerdekaan untuk memutuskan hal baik yang akan ia presentasikan untuk menunjukkan pemahamannya sebagai hasil belajar yang telah ia lalui.
9. Ketika guru sebagai pemimpin pembelajaran melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid, dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, memasukkan keterampilan sosial emosional dan menanamkan budaya positif, maka diharapkan murid-muridnya akan belajar dengan senang dan nyaman sehingga akan menumbuhkan suatu komunitas “wellbeing”. Pada akhirnya nanti murid-murid akan mencapai Profil Pelajar Pancasila yang menjadi muara pendidikan di Indonesia. Berbekal hal tersebut maka di masa depan, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang mampu mengambil estafet kepemimpinan negeri ini. Sebaliknya, ketika seorang guru mengambil keputusan yang salah atau kurang bijaksana yang “melukai” murid, maka bisa jadi berdampak buruk bagi masa depan murid. Keputusan yang salah bisa membuat murid merasa trauma atau rendah diri sehingga tidak mau lagi untuk mengembangkan diri dan potensinya. Oleh karena itulah, bagi seorang guru keputusan tepat, yang berpihak kepada murid menjadi sangat penting. Sebelum memutuskannya, seharusnyalah keputusan itu telah melalui proses panjang dengan berbagai pertimbangan.
10. Pada akhirnya, karena dalam menjalankan tugasnya guru pasti dihadapkan pada situasi di mana ia harus mengambil keputusan, maka Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran merupakan suatu hal yang harus difahami dan dikuasai oleh guru. Dengan kata lain, sebagai seorang pemimpin pembelajaran, guru harus dapat mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai kasus. Untuk dapat melakukannya, guru harus memahami berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Di antaranya adalah filosofi pendidikan, keberpihakan pada murid, kesadaran tentang keunikan dan keanekaragaman murid, kompetensi sosial emosional, paradigma dalam dilema etika, prinsip-prinsip berpikir untuk menyelesaikan dilema etika dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, guru harus memahami kebutuhan belajar murid. Inilah pentingnya pembelajaran berdiferensiasi. Guru harus mampu mengelola kompetensi sosial dan emosional yang dimiliki dalam mengambil sebuah keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang diambil dengan kesadaran penuh, dengan mempertimbangkan relasi, empati dan tanggung jawab. Bukan keputusan emosional. Ketrampilan coaching juga dibutuhkan, karena proses ini dapat digunakan untuk membantu murid mengambil keputusan yang bertanggung jawab, disamping dapat pula diterapkan pada rekan sejawat. Jadi materi yang telah dipelajari dalam Pendidikan Guru Penggerak ini, dari modul 1 sampai modul 3 merupakan hal yang berkaitan erat satu dengan yang lainnya, sehingga sudah seharusnya dikuasai oleh terutama calon guru penggerak, untuk dapat mewujudkan salah satu perannya, yaitu menjadi pemimpin pembelajaran.